Sebelum, Saat dan Setelah Bersamamu
Tiga
tahun sudah kita berkenalan dan berteman. Tapi, baru satu bulan ini kita
berdekatan seperti ini. Ternyata semua sudah melekat, termasuk cinta. Cinta lah
yang membuatku mengenalnya, cinta lah yang membuatku mencintainya, dan cinta
lah yang membuatku bertemu dengannya. Aku berharap semua akan berujung lebih
dari teman. Namaku Tika, Widya Verantika lengkapnya. Pelajar kelas 1 SMA yang
masih labil kisah cintanya.
Rabu, 26 Desember 2012 pukul 09.31
WIB aku mendapat pesan singkat dari Tito. Tito adalah
teman dekatku yang dulu pernah dekat dengan Intan sahabatku sendiri. Sama sepertiku, dia pelajar kelas 1 SMA juga. Dia mengajakku pergi, tapi dia belum mengatakan akan mengajakku pergi kemana. Entah apa yang ada dipikiranku saat itu, aku tak bisa menolak ajakannya.
teman dekatku yang dulu pernah dekat dengan Intan sahabatku sendiri. Sama sepertiku, dia pelajar kelas 1 SMA juga. Dia mengajakku pergi, tapi dia belum mengatakan akan mengajakku pergi kemana. Entah apa yang ada dipikiranku saat itu, aku tak bisa menolak ajakannya.
Sore itu langit begitu bersahabat,
aku terus beharap agar terus seperti itu. Aku sudah bersiap- siap dan berdandan
cantik. Sering kali aku melihat kaca untuk memastikan tak ada yang kurang
dariku.
Jam 15.00 WIB aku menunggunya di
depan rumah. Memang jarak rumah kita jauh, tapi itu tak menghalanginya untuk
bertemu denganku. Saat dia berhenti dengan motor vixion putih, tatapannya
sungguh beda. Dia terlihat gugup. Hatiku berdebar menahan malu. Sempat kita
bertatapan beberapa detik. Aku bingung harus berkata apa saat itu. Yang jelas
aku gugup sekali. Di perjalanan, dia mencoba mengawali percakapan.
“Kamu cantik”
“Hmmm...”
Aku hanya menjawab itu karena aku
gugup sekali.
“Beneran tik”
“Ngrayu yaa ? ”
“Enggak kok, beneran lagi”
“Iyadeh”
“Kita ke Auri aja yaa”
“Terserah kamu deh, kan yang
ngajakin kamu”
“okeoke”
Di Auri suasana tidak begitu ramai, Tito menyuruhku untuk segera turun dari
motor dan duduk di dekat motornya. Mencoba untuk memerhatikannya secara diam-
diam. Kita duduk bersampingan beberapa saat sebelum dia menyuruhku untuk duduk
di depannya. Tapi aku menolaknya, lalu dia yang bergerak dan duduk berhadap-
hadapan denganku. Aku gugup sekali, gugup dan sangat gugup. Dia memegang
tanganku, sangat erat sekali. Wajahku memerah menahan malu.
“Tik, aku mau ngomong sesuatu sama
kamu”
“Ngomong apa to?”
Jawabku dengan gugup.
“Aku suka sama kamu tik, sayang sama
kamu. Sebenernya udah lama tapi aku baru siap ngomong sekarang. Kamu mau nggak
jadi pacarku ?”
“Hah? Yang bener kamu ini”
“Bener, jawab dong”
“Iya to, aku tau. Tapi kamu tau
sendiri kan, dulu kamu pernah suka sama Intan sahabatku sendiri. Aku nggak enak
sama dia to”
“Emang tik, tapi itu kan udah dulu.
Plis tik... Kamu ngertiin aku”
Dia mulai ungkapkan rasa, bercerita
rasa kagum terhadapku. Diam- diam, aku sebenarnya juga mengaguminya. Tapi, aku
belum siap untuk bilang. Aku terlalu gengsi.
“Aku bingung to…”
“Kenapa bingung ? Kalau kamu memang
sayang sama aku, kamu trima aku jadi pacarmu”
Aku terdiam tak bisa menjawab apa-
apa.
“Kalau aku jawabnya besok aja gimana
to ?”
“Nggak apa- apa tik, biar kamu bisa
ngasih jawaban yang terbaik”
* * *
Kamis, 27 Desember 2012 pagi aku mendapat
pesan singkat dari Intan. “Tidak usah memperdulikankku, mugkin dia lebih
bahagia denganmu. Dia menyukaimu dengan tulus. Kalau kamu suka dengannya aku
tidak apa- apa tik, asal kamu jangan menyakitinya :) ” Pesan itu
tidak aku balas, aku bingung sekali. Tapi, aku harus memberikan jawaban
yang pasti.
Malamnya, aku mendapat pesan singkat
dari Tito. “Selamat malam, semoga memberikan jawaban yang terbaik :) ”.
Semuanya sudah aku pikirkan matang- matang. Aku menerimanya sebagai pacarku.
Kepolosannya
membuatku percaya, bahwa dia adalah pria paling tepat. Aku mulai membangun
mimpi, harapan, dan keyakinan agar tidak menyia- nyiakan kebersamaan kita. Kamu
humoris dan manis, dua hal itu memang tak cukup dijadikan alasan akan hadirnya
cinta. Terus saja kamu tunjukkan jalan terang. Jalan yang kupikir adalah tujuan
menuju kenyataan. Aku mencoba mengikuti jalan itu, berjalan bersamamu atas nama
hari, dan kita tak tahu teka- teki di balik perbedaan yang ada di dalam kita.
*
* *
Tiga bulan berlalu. Dan tiga
bulan itu semua terlihat baik. Sering bertatapan dan saling berbicara.
Tak pernah bertengkar sama sekali. Jika dia berbuat kesalahan kecil aku berusaha
memaafkannya. Tapi, menuju bulan keempat dia seperti menjauh. Tito yang juga
ikut les GO sama sepertiku. Tapi, dia tak pernah masuk. Tak tau apa alasannya.
Lama- kelamaan aku merasa jauh sekali, jauh dan sangat jauh ketika tidak saling
bertatapan dan saling memberi kabar .
Aku memberanikan diri untuk sms dia menanyakan alasannya.
Ternyata, karena dia sedang sibuk merakit tamiya. Sempet kesal, kesal sekali.
Tapi aku coba untuk mengerti. Aku juga menanyakan masalah itu kepada temannya.
Temannya mengatakan kalau **** hanya tidak mau kalau harus sms-an dan
bertemu setiap hari denganku. Karena ada urusan yang harus diurusi selain aku.
Okee… aku mengerti, hingga saat itu.
Memang rasanya berbeda, jarang
bertemu dan saling bertatapan. Jangankan hal itu, mendapat perhatiannya saja
tidak. Sejak saat itu aku sering menghabiskan waktu luangku untuk membuka
jejaring sosial. Salah satunya twitter. Sering kali aku menulis apa yang ada di
pikiranku.
Yang aku tau Tito tak pernah membuka
jejaring sosial seperti aku dan teman- temannya. Entah yang ada di pikiran
temannya itu apa, dia mengatakan kepada Tito bahwa aku sering bercakap-
cakapan dengan cowok lain. Tito menjadi curiga terhadapku, padahal aku tak
pernah melakukannya. Sering kali aku memaafkan kesalahan yang dilakukannya.
Tapi, disaat dia mendapat kabar buruk tentangku yang belum pasti aku lakukan
dia langsung percaya.
Rabu, 10 April 2013 aku merasa
sangat kesal sekali. Sore itu aku masuk les di GO. Kebetulan Tito juga masuk.
Tapi, dia malah asik bercanda dengan teman- temannya. Sedangkan aku yang duduk
di sebelahnya hanya dianggap patung mungkin. Karena begitu kesal, belum jam nya
untuk pulang les, aku keluar tanpa berpamitan dengannya.
Aku langsung pergi dan menjemput
temanku Diah. Diah adalah teman dekatku yang satu sekolah dengan Tito.
Seperti biasanya kami pergi makan ayam goreng ke Jl.Sumarwi Wonosari. Seperti
tanpa ada masalah, hanya tak mau membebani temanku itu. Aku mencoba terlihat
baik- baik saja. Sering kali aku melihat Handphone, berharap ada sms masuk dari
Tito. Tapi tak ada.
Sesampainya dirumah aku sms Tito dengan
nada kesal. Mungkin dia juga kesal denganku. Dia mengatakan “Kamu harus tau,
hubungan kita tak pernah baik. Daripada kamu hanya sakit hati sebaiknya kita
sampai disini saja. Maaf, selama ini aku nggak pernah bikin kamu seneng.
Maaaaaffffffffff”. Membaca sms itu aku sangat terpukul. Air mataku menetes
dengan sendirinya. Terus aku katakan kepadanya kalau aku tak bisa. Tak bisa
tanpamu. Tapi… kamu tentu tau, tak mudah mengikhlaskan perpisahan.
*
* *
Apa aku terlalu terburu- buru jika
mengartikan ini semua adalah cinta ? Mungkinkah kita terjebak dalam
ketertarikan sesaat, mengapa aku begitu sedih ketika kamu memutuskan untuk
pisah dan mengakhiri segalanya ?
Tito memilih pergi tanpa alasan yang
benar- benar aku pahami. Dia memilih pergi, ketika aku sangat menyayanginya dan
ingin terus ingin memperjuangkannya. Dia pergi ketika aku mulai berharap bahwa
kebersamaan kita akan berujung indah.
Kini, aku melewati hari yang
berbeda. Tidak ada lagi dia dan perhatian darinya. Tidak ada lagi kita dan
segala canda yang dulu pernah ada. Rasa sakit ini masih sama. Dia menghilang,
menuduhku sebagai dalang yang menghancurkan segalanya. Sedangkan, dihari- hari
kemarin, sebelum kita pisah aku sudah meyakinkan diriku untuk selalu berjalan
kearahmu.
Kamu tentu tau, melupakan sesuatu
yang sudah melekat bukanlah hal yang mudah. Aku tak bisa membayangkan bangun
pagi dan tidur malam tanpa ucapan- ucapan manis darimu. Aku ingin tau alasanmu
pergi, karena sungguh alasanmu untuk pergi tak logis bagiku. Apa aku terlalu
rendah untuk mengharapkan pria setinggi kamu ? Apa aku terlalu busuk untuk
mendambakan sosok sempurna sepertimu ? Bagaimana mungkin aku harus menyebut semua
adalah wujud kesetiaan ? Sulit aku melupakan, dan mudahnya kamu melupakan.
Mungkin ini caramu menyakiti seseorang yang tak pantas kau lukai.
Tak banyak hal yang bisa kulakukan,
selain mengikhlaskan. Tak ada hal yang mampu ku perjuangkan, selain
membiarkanmu pergi dan tak berharap kamu menorehkan luka lagi. Aku berusaha
menikmati luka, hingga aku terbiasa. Kepergianmu yang tak beralasan, kehilangan
yang begitu menyakitkan, telah menjadi candu yang kunikmati sakitnya. Aku mulai
menikmati saat napasku sesak ketika mengingatmu. Aku mulai jatuh cinta pada rasa
sakit yang kau ciptakan selama ini.
Aku memejamkan mata. Pipiku basah
entah oleh apa. Aku mulai suka air mata yang sering kali jatuh. Jangan suruh
aku mengaku bahwa ini adalah air mata, karena kamu tak akan mengerti rasa
sakitku. Kepergianmu sudah cukup membuatku paham bahwa aku tak perlu lagi
berharap terlalu tinggi. Terima kasih ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentarnya